ANALISIS
STRUKTURALISME GENETIK
Cerpen
“DORODASIH”
Karya
Iman Budhi Santosa
Pendahuluan
Iman Budhi Santosa adalah seorang
pengarang cerpen yang karya-karya na sudah banyak diterbitkan. Salah satu karya
ini yaitu cerpen yang berjudul Dorodasih. Cerpen ini mengisahkan perempuan yang
sederhana yang tidak tamat SMA. Kesederhanaanya dalam bersikap, namun tidak
dalam bercita-cita terlebih pendapatannya tentang pekerjaannya sebagai pemetik
teh, suatu tingkat karyawan yang paling rendah di perkebunan menimbulkan
kekaguman dari petinggi perusahaan. Perempuan Dorodasih menggambanrkan kekuatan
tekad, sekaligus kelemahan manusia yang setiap kali harus tenggelam dulu ke
jurang kebodohan untuk menjadi baik.
Suasana Jawa yang kental ketara pada
latar belakang cerita, dialog, susunan kalimat dan beberapa istilah yang bila
dialiha artikan ke bahasa Indonesia akan menghilangkan ruh Jawa yang ingin
dihidupkan ke bahasa penulis. Sejatinya, Iman Budhi Santoso adalah seniman
serba bisa yang sangat memahami dan hidup dalam tradisi Jawa. Ia pernah
memenangkan Lomba Cerkak (Cerpen Bahasa Jawa) tahun 1998. Selain itu khusus
untuk Dorodasih sebenarnya merupakan novel berbahasa Jawa.
Teori
strukturalisme genetik dipilih karena melalui teori inilah cerpen karya Iman
Budhi Santosa mampu dianalisis dari dua sisi (strukturalnya yang otonom dan
sosio-kultural masyarakat dimana cerpen tersebut lahir) dan hubungan antara dua
sisi tersebut.
Struktur
Cerpen Dorodasih
Strukturalisme Genetik (genetik structuralism) adalah cabang
penelitian sastra secara struktural yang tak murni. Strukturalisme genetik ini
merupakan penggabungan antara struktural dengan metode penelitian sebelumnya
(Endraswara 2003: 55). Semula, peletak dasar strukturalisme Genetik adalah
Taine. Bagi dia, karya sastra sekedar fakta imajinatif dan pribadi, melainkan
dapat merupakan cerminan atau rekaman budaya, suatu perwujudan pikiran tertentu
pada saat karya dilahirkan. Strukturalisme Genetik muncul sebagai reaksi atas
“stukturalisme murni” yang mengabaikan latar belakang sejarah dan latar
belakang sastra yang lain. Hal ini diakui pertama kali oleh Juhl (Teeuw 1988:
173) bahwa penafsiran model strukturalisme murni atau strukturalisme klasik
kurang berhasil (Endraswara 2003: 55-56).
struktur karya sastra bagi Goldmann mencakup hubungan antar
tokoh dalam teks dan hubungan tokoh dengan dunia atau objek lain di sekitar
tokoh. Asumsi tersebut secara tidak langsung menyebutkan bila Goldmann
mempunyai konsep struktur yang bersifat tematik, yang memusatkan perhatian pada
relasi antara tokoh dengan tokoh dan tokoh dengan objek yang ada disekitarnya. Dengan
demikian, Goldmann membdedakan teks sastra dengan filsafat yang mengungkapkan
pandangan dunia secara konseptual dan sosilogi yang mengekspresikan pandangan
dunia secara empiritas.
Tokoh Utama dan Problematikanya
1.
Tokoh Dasih
Tokoh Dasih merupakan tokoh protagonis karena dalam cerpen
Dorodasih, tokoh ini banyak keterlibatnya dalam cerpen. Serta dalam cerpen ini
dasih merupakan tokoh yang sangat baik serta pekerja keras. Namun sosok dasih
ini mempunyai sifat egois, keras hati, mudah tersinggung, tapi pemaaf. Hal ini
diperkuat dalam kutipan cerpen berikut.
“akhirnya
Temo Kasman menyerah. Apa mau dikata jika kehendak si anak memang demikan. Mau
memaksanya Temo tidak berani. Dia sadar betul. Dasih benar-benar mewarisi
sebagian sifat dirinya. Keras hati, mudah tersinggung, namun pemaaf .” (halaman
6)
Seorang
dasih ini merupakan pemitik teh yang berada didesa Kembangsari. Dasih hanya
tinggal berdua bersama ayahnya semenjak ibunya meninggal. Ia harus menyiapkan
keperluannya sendiri.
2.
Relasi Tokoh Temo Kasman (ayah)
dengan Dasih
Sosok Temo kasman merupakan tokoh ayah dari Dasih. Dalam cerpen
ini tokoh Temo digambarkan sebagai tokoh yang sangat baik serta penyang.
Hubungan tokoh Temo dengan Dasih adalah hubungan seorang anak kepada ayah.
Dimana Temo menjadi ayah sekaligus seorang ibu, semenjak ibu Dasih meninggal
dunia. Kedekatan ayah dan anak ini ditunjukkan dari sifat yang diwarisi Temo
kepada Dasih yaitu sifat keras hati, mudah tersinggung namun pemaaf. Kewajiban
seorang ayahpun ditunjukan oleh tokoh temo yang dapat menjadi pelindung seorang
anak. Pernytaaan yang diambil dari cerpen tersebut. “Dasih tak menjawab.
Wajahnya malah dibenamkan ke dalam pelukan bapaknya. Seakan-akan mencari
perlindungan. Mencari kedamaian sewaktu langkahnya sampai pada jalan simpang
yang gelap dan membingungkan”(halaman 28)
3.
Relasi Tokoh Ponco dan Dasih
Tokoh Ponco ini dalam cerpen Dorodasih mempunyai hubungan
sebagai mandor dan karyawan dengan Dasih. Mandor Ponco merupakan mandor yang
sangat gagah, bijaksana serta tampan. Sehingga banyak karyawan petik yang
mengagumi sertai menyukai Tokoh Ponco ini. Namun hal ini tidak berlaku dengan
Dasih. Apalagi setelah Dasih mengetahui sifat mandor Ponco yang tidak
sebijaksana seperti Dasih ketahui sebelunya. Sifat Ponco yang hanya bisa
membela diri dengan mencari kesalahan orang lain.
4.
Relasi Tokoh Ruwanti dan Dasih
Ruwanti diceritakan sebagai gadis petik yang hebat dalam
bidang petik, rajin, cantik sehingga jadi primadona. Dalam cerpen ini Ruwanti
menjadi teman Dasih serta bekerja di perkebunan teh yang dimandori oleh Ponco.
5.
Relasi Tokoh Ngusman dan Dasih
Tidak hanya Ponco mandor muda yang memimpin perkebunan,
namun ada Tokoh lain yang menjadi mandor yaitu Ngusman. Tokoh ini dalam cerpen
Dorodasih sering membantu dan mengerti sifat Dasih. Terbukti ketika Dasih
sedang menjalani skorsing dari pihak perkebunan, Ngusman lah yang menyuruh
Dasih untuk kembali bekerja diperkebuan tersebut dengan menulis pernyataan
Dasih bersedia untuk bekerja di perkebunan.
“kamu buat pernyataan sekarang juga, Sih. Terserah bunyinya.
Siang ini saya akan menghadap Pak Sinder. Kalau pernyataan itu sudah sampai ke
tangan beliau, besok kamu mulai petik” (halaman 29)
Latar
Konsep struktur menurut Goldmann tidak hanya mencakup
hubungan tokoh dengan tokoh, namun juga mencakup hubungan tokoh dengan dunia
atau objek disekitar tokoh.
Dunai dan objek disekitar tokoh selanjutnya disebut latar. Dalam
analisis cerita rekaan, latar atau setting juga merupakan salah satu unsur yang
sangat penting bagi penentuan nilai estetik karya kesusastraan. Latar biasa
disebut sebagai atmosphere atau setidak-tidaknya merupakan bagian atmosphere
atau tone secara keseluruhan. Peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam sebuah
cerita rekaan umumnya terjadi pada suatu lingkungan tertentu, baik lingkungan
tempat maupun lingkungan waktu. Demikian halnya dengan keseluruhan lingkungan
pergaulan tokoh suatu cerita rekaan, termasuk di dalamnya kebiasaan-kebiasaan,
pandangan hidup, latar belakang sesuatu lingkungan juga dapat dimasukkan ke
dalam pengertian latar. Sehingga latar dalam cerita rekaan ialah segala
informasi tentang tempat atau ruang cerita yang digambarkan secara kongkret dan
jelas.
1.
Latar Tempat
Perkebunan Kembangsari merupakan
tempat yang diangkat oleh cerpan Dorodasih ini. Tidak hanya perkebunan saja
yang diceritakan, melainkan areal pabrik maupun kantor pun diceritakan.
“hari masih pagi. Lonceng pabrik
baru saja berkeleneng enam kali. Udara berkabut. Langit kelabu. Angin mendesau
sesekali. Meninggalkan desir lembut pada hamparan perdu teh yang membentang
bagai permadani hijau menyelimuti bukit lemah perkebunan Kembangsari”(halaman
3)
“di kebun dekat implasemen, syuting
teve belum selesai. Kesembilan orang pemetik disana melalukan pemetikan seperti
biasa. Dipimpin mandor Ponco. Kemudian satu per satu diwawancarai. Di antara
mereka terdapat Pemimpin kebun, Kepala Bagian Tanaman, Kepala Afdeling
Kembangsari II, serta petugas-petugas televisi”
(halaman 13)
“lamunan Dasih buyar oleh berisik
langkah sepatu yang tiba-tiba saja telah berada di ambang pintu. Pak sinder
disertai lelaki berkacamata yang tadi pagi menyuruhnya ganti baju, memasuki
kantor. . . . . .” (halaman 17)
Rumah pun menjadi latar tempat yang
berikutnya. Rumah Dasih yang hanya ditinggali berdua dengan sang ayah tak luput
menjadi bahan cerita dalam cerpen ini.
“sesampainya dirumah, sengaja ia
tidak ke dalam. Karena keinginan untuk gantibaju sama sekali tak terlintas di
kepalanya. . . . . (halaman 11)
Latar tempat berikutnya yang
dijadikan tempat dalam ceripen ini yaitu dapur serta kamar Ruwanti.
“Perasaan seperti itu pulalah yang
dirasakan malamnya, ketika lonceng pabrik berbunyi dua belas kali, kemudian
Ponco serta Ruwanti masih asyik berduaan di dapur. . . . . .” (halaman 52)
2.
Latar Waktu
Cerpen Dorodasih ini diterbitkan
pada tahun 2002 di Yogyakarta. Cerita ini diangkat dari bahasa Jawa, yang
notabene kental dengan adat istiadat jawa.
Latar waktu dalam cerpen Dorodasih
tentunya mengacu pertanyaan kapan terjadinya. Cerpen Dorodasih ini menceritakan
ketika Dasih masih bersekolah SMA di kota. Yang waktu itu ketika kenaikan kelas
tiga Dasih harus menghentikan sekolahnya karena ia mengalami sakit yang
mengharuskannya dirawat selama berminggu.
Ketika ia memutuskan berhenti
sekolah Dasih langsung bekerja menjadi buruh petik teh. Dengan umurnya yang
masih 23 tahun Dasih berjuang menjadi buruh petik di perkebunan teh di desanya.
Hari-harinya Dasih hanya bekerja dan bekerja. Ia selalu menyibukkan diri dengan
pekerjaan-pekerjaan kecil setelah menjadi buruh petik.
3.
Latar Sosial
Latar sosial dalam cerpen Dorodasih
ini berhubungan dengan kebiasaan sosial serta kehidupan masyarakat Kembangsari.
Masyarakat Kembangsari ini kebanyakaan menjadi pemetik teh yang ada di
perkebunan teh desanya. Rumah-rumah penduduk pun masih milik perkebunan.
Kehidupan masyarakat yang menjadi buruh petik hanya lah lulus SD saja. Masih
sangat sedikit masyarakat Kembangsari yang lulus SMA. Mereka beranggapan bahwa
perempuan hanya bisa bekerja sebagai pemetik teh saja, tidak akan bisa yang
berpangkat tinggi. Makanya meraka hanya mengenyam pendidikan sekolah dasar.
Biografi Iman Budhi Santosa
Iman
Budhi Sentosa, lahir di Magetan, 28 Maret 1948. Pernah bekerja di perkebunan
teh di Kenadal, Semarang. Kemudian masuk Dinas Perkebunan Prop. Dati I Jawa
Tengah. Tahun 1987 mengundurkan diri. Kini bekerja sebagai penulis freelance di
Yogyakarta. Pada tahun 1969 ikut mendirikan Persada Studi Klub (PSK) bersama
Umbu Landu Paranggi cs. di Mingguan Pelopor Yogya.
Bukunya
telah terbit: Ranjang Tiga Bunga (novel, 1975), Barong Kertapati (novel, 1976),
Tiga Bayang (puisi, 1970). Puisinya terdapat dalam antologi: Tugu (1986),
Tongkok 3 (1997), Zamrud Khatulistiwa (1997), Gerbong (1998). Mengeditori
antalogi puisi Sembilu (1991), Ambang (1992), antalogi esei sastra sastra
Begini, Begini, Begitu (1997), dan Tamansari (1998). Eseinya diterbitkan oleh
Puspa Swara dalam Senandung Rumah Ibu (1993). Cerpennya ada dalam antologi
Lukisan Matahari (Bernas, 1993). Memenangkan lomba penulis puisi TBY 1994
Seorang Buta dan Kemenangan Seorang Buruh Harian (Lirik-Lirik Kemenangan,
1994). Memenangkan Lomba Penulisan Cerkak TBY 1998 (Liong Tembang Prapatan)
Menjabat
Ketua Seksi Sastra Indonesia pada Festival Kesenian Yogya (FKY) tahun 1995,
1997, dan 1998. Tulisan dan puisinya pernah dipublikasikan di majalah Horison,
Basis, Citra Yogya, Antalogi PPLA Surabaya, serta Lembar kebudayaan media massa
pusat dan daerah.
Hubungan Cerpen dan Biografi
Iman Budhi Santosa menceritakan
cerpen ini tentang kehidupan seorang perempuan yang bernama Dasih. Pengarang
sangat detail menggambarkan ceritanya karena Iman Budhi Santoso tahun 80-an
pernah bekerja diperkebunan teh. Sehingga ia mengambil latar tempat serta
kehidupan lingkungan masyarakat dalam cerpen Dorodasih ini. Dalam kehidupannya
Iman Budhi Santosa mencoba menggambarkan keadaan pada masa itu dalam cerpen
Dorodasih. Pada masa itu ditempat si pengarang tinggal masih musim perempuan
hanya menjadi nafsu seksual para lelaki. Namun Iman Budhi Santosa mencoba
menggambarkan sosok Dasih ini sebagai perempuan yang sangat tangguh. Pendirian
tokoh Dasih ini sangat kuat, Dasih yang hidup hanya dengan seorang ayahnya
pantang putus asa mencari nafkah. Dan keegoisan sosok dasih yang digambarkan si
pengarang dapat mencegah sisi negatif yang ditimbulkan oleh kaum lelaki.
Pengarang juga memasukkan unsur nyata dalam cerpen ini, sehingga pembaca
mengetahui keadaan pada masa itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar